"Dan Persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah ,musuhmu dan dan orang-orang selain mereka yang tidak kamu ketahui; tetapi Allah mengetahuinya. Apa sahaja yang kamu infakkan kejalan Allah niscaya akan di balas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan di zalimi (dirugikan).."
(QS,al-Anfaal(8):60)

Analogy ;Kita Perlukan Ini..

Bahtera Penyelamat !!!!

“Ustaz, dulu ana merasa bersemangat dalam dakwah. Tapi belakangan ini rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat ternyata sahabat banyak pula yang aneh-aneh.” Begitu keluh kesah seorang mad’u kepada murabbinya di suatu malam.

Sang murabbi hanya terdiam, mencuba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad’unya. “Lalu, apa yang ingin enta lakukan setelah merasakan semua itu?” sahut sang murabbi setelah sesaat termenung.

“Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang tidak islamik. Juga dengan organisasi dakwah yang ana sertai, kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana mendingan sendiri saja…” jawab mad’u itu.

Sang murabbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari bentuk wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawapan itu memang sudah diketahuinya sejak awal.

“Akhi, bila enta naik sebuah kapal mengharungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat uzur. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang beranai bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan enta lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?” tanya sang murabbi dengan kiasan bermakna dalam.

Sang mad’u terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat. “Apakah enta memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?” sang murabbi mencuba memberi pilihan. “Bila enta terjun ke laut, sesaat enta akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan enta untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan jerung datang? Darimana enta mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana enta mengatasi kesejukan hawa dingin?” serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang mad’u.

Tak disangka-sangka, sang mad’u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya makin memuncak, namun sang murabbi yang dihormatinya tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya. “Akhi, apakah enta masih merasa bahawa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju redha Allah?” Pertanyaan tersebut ini menghambat jiwa sang mad’u. Ia hanya mengangguk.

“Bagaimana bila temyata kenderaan yang enta naiki dalam menempuh jalan itu temyata rapuh? Enta akan berjalan kaki meninggalkan kenderaan itu tersadai di jalan, atau mencuba memperbaikinya?” tanya sang murabbi lagi.

Sang mad’u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, “Cukup ustaz, cukup. Ana sadar. Maafkan ana. Ana akan tetap istiqamah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat pingat kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan…”

“Biarlah yang lain dengan urusan peribadi masing-masing. Ana akan tetap berjalan dalam dakwah ini. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana”, sang mad’u berazzam di hadapan murabbi yang semakin dihormatinya.

Sang murabbi tersenyum. “Akhi, jama’ah ini adalah jama’ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi di balik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah peribadi-peribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah.”

“Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan enta. Sebagaimana Allah ta’ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata enta dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Kerana di mata Allah, belum tentu enta lebih baik dari mereka.”

“Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu, maka bolehkah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?” sambungnya panjang lebar. “Kita bukan sekedar pemerhati yang hanya tahu berbicara. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun boleh melakukannya. Tapi kita adalah da’i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahkan amanah oleh Allah untuk menangani masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mendedahkannya, sehingga makin meruncingkan masalah.”

“Jangan sampai, kita seperti menyiram minyak ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, akhirnya menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!” Sang mad’u termenung merenungi setiap kalimat murabbinya. Azzamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bergelayut dihatinya.

“Tapi bagaimana ana bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kemampuan ana yang lemah ini?” sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.

“Siapa cakap kemampuan enta lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada enta? Semua manusia punya keupayaan yang berbeza. Namun tidak ada yang boleh menilai, bahawa yang satu lebih baik dari yang lain!” sahut sang murabbi.

“Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah nasihat dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Kerana peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah isu atau gosip, tutuplah telinga enta dan bertaubatlah. Singkirkan segala dengki, benci, iri hati enta terhadap saudara enta sendiri. Dengan itulah, Bilal yang asalnya budak hina menemui kemuliaannya.”

Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang mad’u bergegas mengambil wudhu untuk qiyamullail malam itu. Sang murabbi sibuk membangunkan beberapa mad’unya yang lain dari asyik tidurnya.

Malam itu, sang mad’u menyadari kekhilafannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama’ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan diperolehnya. Demikian juga yang diharapkan dari Antum/antunna yang membaca tulisan ini.. Insya Allah kita tetap istiqamah di jalan dakwah ini.. Dalam samudera tarbiyah ini..


sumber: Majalah Al-Izzah, No. 07/Th.4

Posted by hamba Allah | at 10:56 PG | 0 comments

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...